Minggu, 09 Juni 2019

Pengaruh Limbah Air Cucian Terhadap Lingkungan


MAKALAH
BAHASA INDONESIA
“PENGARUH LIMBAH AIR CUCIAN TERHADAP LINGKUNGAN”





Dosen pengampu :
Indri Susanti, M.Si
Di susun oleh :
Desi Zulfa Eka Cahayati (181810002)

PROGAM STUDI BAHASA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
LAMONGAN
2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmad dan hidayahnya kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah dengan judul “Pengaruh air cucian terhadap lingkungan disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia serta memberikan pengetahuan baru bagi penulis dan pembaca mengenai pencemaran lingkungan.
Kami menyadari bahwa makalah ini kami susun masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dengan tujuan agar makalah ini selanjutnya akan lebih baik. Semoga bermanfaat.


Lamongan, 26 Desember 2018


Desi Zulfa Eka Cahayati


DAFTAR ISI





BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Air merupakan kebutuhan primer bagi makhluk hidup. Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan konsumsi air mengalami peningkatan. Sedangkan jumlah ketersediaan air bersih semakin sedikit akibat adanya pencemaran lingkungan, misalkan pembuangan sampah sembarangan, pembuangan limbah pabrik dan sebagainya. .  Pencemaran air sebagai perubahan alami atau buatan dalam kualitas air yang menjadikannya tidak sesuai atau berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup, industri, pertanian, perikanan atau tuntutan lain (Dix, 1980).
Air yang tercemar dapat dipergunakan kembali dengan proses filtrasi. Apabila air tercemar maka akan memberi dampak negatif berupa rusaknya kandungan oksigen yang terlarut, perubahan pH, temperatur air dan berkurangnya makanan dari dalam air tersebut (Prawiro, 1985).
Salah satu penyebab penyemaran adalah sabun atau detergen yang digunakan di kehidupan sehari-hari untuk mencuci pakaian, mencuci piring, mandi dan kegiatan lainya. Efek dari detergen sangat membahayakan kualitas air disekitar kita. Hal tersebut disebabkan karena detergen mengandung zat surfaktan (sebagai bahan dasar detergen) sebesar 20-30%, builders (senyawa fosfat) sebesar 70-80 %, dan bahan aditif (pemutih dan pewangi) yang relative sedikit yaitu 2-8%. Surface Active Agent (surfaktan) pada detergen digunakan untuk proses pembasahan dan pengikat kotoran, sehingga sifat dari detergen dapat berbeda tergantung jenis surfaktannya (Kirk dan Othmer, 1982).  
1.2.Rumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka pada penulisan ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a.       Apa pengertian dari detergen?
b.      Apa saja dampak negatif dari pencemaran air?
c.       Bagaimana metode yang di gunakan untuk mengatasi pencemaran air ?

1.3. Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
a.         Untuk mengetahui pengertian detergen
b.        Untuk mengetahui dampak negatif dari pencemaran air
c.         Untuk mengetahui metode yang digunakan untuk mengatasi pencemaran air


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah sabun dan detergen
Sabun sebenarnya tidak pernah ditemukan, tetapi pada abad pertama, Pliny, sang pencetus menjelaskan proses pembuatan sabun, hingga pada abad ke-13, sabun diproduksi secara industri. Sampai awal abad ke-18, sabun diyakini campuran lemak dan basa secara mekanis; hingga Chevruel, ahli kimia Perancis, menunjukkan bahwa pembuatan sabun sepenuhnya melibatkan reaksi kimia (Austin, 1984). Sepanjang sejarah ada banyak sekali usaha yang dilakukan untuk membantu pekerjaan kita sehari-hari. Seperti produk laundry, sabun toilet, sampo, sabun cuci piring, dan produk pembersih pada rumah tangga.

2.2. Pengertian Detergen
Deterjen adalah suatu bahan kimia organik sintesis yang dapat bereaksi dengan air dan menyebabkan pembentukan busa yang digunakan untuk membersihkan atau mencuci, baik dalam industri ataupun untuk tujuan rumah tangga (Carrefour, 2010). Umumnya detergen tersusun atas tiga komponen yaitu, surfaktan (sebagai bahan dasar detergen) sebesar 20-30%, builders (senyawa fosfat) sebesar 70-80 %, dan bahan aditif (pemutih dan pewangi) yang relative sedikit yaitu 2-8%. Surface Active Agent (surfaktan) pada detergen digunakan untuk proses pembasahan dan pengikat kotoran, sehingga sifat dari detergen dapat berbeda tergantung jenis surfaktannya (Kirk dan Othmer, 1983).
Tujuan dari detergen yaitu memindahkan kotoran, minyak dan polutan-polutan lain yang tidak diinginkan. Kandungan deterjen yang telah dibuat pada saat ini memungkinkan untuk memperoleh hasil yang sama ataupun lebih baik dengan temperatur pencucian yang lebih rendah dan energi yang sedikit dan juga menghasilkan proses uraian biologis yang lebih efisien yang dapat melindungi lingkungan dari pencemaran (Tresna, 2009).


2.3. Pengaruh Deterjen Terhadap Kehidupan Biota Air
Pencemaran menyebabkan mahluk hidup melakukan berbagai reaksi, Seperti Kandungan fosfat yang tinggi dapat merangsang tumbuhnya gulma air (Bourdeau and Treshow, 1978). Peningkatan gulma air akan menyebabkan peningkatan penguraian fosfat, dan penghambatan pertukaran oksigen dalam air, sehingga kadar oksigen terlarut dalam air amat rendah (mikroaerofil) (H. Sitorus, 1997).
Semakin tinggi akumulasi detergen maka semakin rendah pula suplai oksigen terlarut di dalam air. Hal ini menyebabkan terganggunya proses respirasi pada ikan. Sehingga dampak yang paling buruk adalah kematian pada ikan. Kematian yang terjadi dikarenakan berhentinya fungsi kerja organorgan tubuh pada ikan akibat tidak terpenuhi oksigen pada proses respirasi. Atau kandungan detergen yang toksik tidak bisa ditolerir oleh tubuh ikan. Insang sebagai organ yang penting memiliki sifat sensitive yang tinggi terhadap racun di perairan. Kerusakan organ respirasi ini disebabkan karena terjadinya iritasi pada permukaan insang sehingga mengganggu proses respirasi. Selain merusak insang, deterjen juga merusak indra perasa ikan sehingga ikan akan kesulitan dalam mencari makan.
Beberapa negara di dunia secara resmi telah melarang penggunaan zat Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) dalam pembuatan deterjen dan memperkenalkan senyawa kimia baru yang disebut Linier Alkyl Sulfonat (LAS) yang relatif lebih ramah lingkungan. Akan tetapi penelitian terbaru oleh para ahli menyebutkan bahwa senyawa ini juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit terhadap lingkungan. Menurut data yang diperoleh bahwa dikatakan alam lingkungan membutuhkan waktu selama 90 hari untuk mengurai LAS dan hanya 50 persen dari keseluruhan yang dapat diurai (Daniel N, 2001)


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium dan dilaksanakan di Laboratorium Biologi Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat dan Laboratorium PDAM Banjarbaru. Limbah deterjen dibuat di laboratorium PDAM Banjarbaru. Koagulan yang digunakan adalah kapur dan  PAC
3.2. Alat dan Bahan
1.      Alat
Pada penelitian ini memerlukan seperangkat alat koagulasi yang mana menggunakan beakker glass yang dilengkapi dengan pengaduk (Jar Test). Botol semprot, termometer (Philip Haris Limited),gelas ukur 10 mL, botol kaca, kertas label,pH meter (Cyberscan 1000), stopwatch, neraca analitik (Ohaus), pipet volume 10 mL, incubator, erlenmeyer, corong, propipet, buret, gelas arloji, tangki plastik (dirijen), botol winkler dan turbidimeter (2100P HACH).
2.      Bahan
Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu limbah deterjen buatan, limbah deterjen laundry, kapur, PAC,reagen alkali iodida azida, kertas saring, MnSO4,KmnO40,06 N, amilum 5%, natrium thiosulfat 0,025 N, asam oksalat 0,01 N, asam sulfat pekat dan aquadest. 
3.3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai adalah metode koagulasi-flokulasi menggunakan koagulan kapur dan pac.
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1.  Identifikasi Limbah Deterjen
Sampel air limbah deterjen buatandan limbah deterjen laundry, selanjutnya diperiksa di laboratorium untuk mengetahui karakteristiknya. Parameter yang diperiksa adalah meliputi parameter air bersih terbatas:  BOD BOD diukur dengan metode Titrasi Winkler  menurut SNI 06-2503-1991.  COD COD diukur dengan menggunakan metode titrasi menurut SNI 06-2504-1991.  pH Untuk pengukuran pH, digunakan pH meter menurut SNI 06-6989.11-2004.  Turbidity Untuk mengukur kekeruhan, digunakan turbidimeter menurut SNI 06-6989.25-2005.
3.4.2.  Persiapan Media
Limbah deterjen dibuat dengan cara mencampurkan 20 L air dengan 100gr deterjen, kemudian mengaduknya sampai homogen dan untuk limbah deterjen laundry diambil dari tempat laundry.
3.4.3.  Proses Pengolahan Limbah Deterjen
1.      Variasi Massa Koagulasi-Flokulasi
Dari larutan tersebut diambil 150 mL dan dimasukkan kedalam beakker glass dan menambahkan kapur sebagai koagulan dengan variasi massa koagulan adalah 1 gr, 2 gr, 3 gr, 4 gr dan 5 gr dengan menggunakan proses Jar-Test untuk masing-masing sampel. Untuk menghomogenkan larutan untuk proses koagulasi dilakukan  pengadukan 100 rpm selama 1 menit. Pada proses flokulasi ini dilakukan pengadukan lambat dengan kecepatan 40 rpm selama 20 menit atau sampai terjadi panggabungan inti endapan menjadi molekul yang lebih besar (flok). Flok yang terbentuk selanjutnya dipisahkan dengan cairannya yaitu dengan cara pengendapan atau pengapungan selama 30 menit. Setelah itu dilakukan pengukuran terhadap BOD, COD, pH dan turbiditynya.
2.      Penentuan BOD
Sampel dari hasil proses pengolahan dimasukkan kedalam 2 buah botol winkler dalam jumlah masing-masing 75 mL, kemudian menambahkan aquadest pada masing-masing botol sebanyak 225 mL. Salah satu dari botol tersebut diinkubasi selama 5 hari, kemudian diukur oksigen terlarutnya. Botol winkler yang tersisa diukur oksigen terlarutnya pada hari ke 0 dengan menambahkan 2 mL MnSO4 dan 2 mL reagen alkali iodida azida. Menutup dan mengocok larutan tersebut kemudian membiarkannya selama 10 menit. Menambahkan 2 mL H2SO4 pekat kemudian mengocoknya. Memindahkan kedalam erlenmeyer 500 mL, setelah itu ditambah 3 tetes amilum 5% dan dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat 0,025N hingga larutan tak berwarna dan mencatat volume titrasinya.
3.      Penentuan COD
Mengambil sampel dari hasil proses pengolahan koagulasi-flokluasi pada tiap-tiap variasi massa, memasukan kedalam botol dengan jumlah minimum 10 mL. Menambahkan 5 mL H2SO4 4 N campur hingga tercampur sempurna. Menambahkan titrasi hasil standarisasi larutan KMnO4 0,06 N. Memasukkan dalam penangas air hingga mendidih kemudian mengangkat. Menambahkan 10 mL asam oksalat 0,01 N pertahankan suhunya ± 70º-80ºC. Menitrasi dengan KMnO4 0,06 N hingga warna pink, titrasi dihentikan. Mencatat jumlah KMnO4 0,06 N yang diperlukan hingga tebentuk warna pink.
4.      Penentuan pH dan Turbidity
Mengambil 10 mL sampel dan memasukkannya kedalam beakker glass. Mengukur pH pada sampel tersebut dengan mengunakan pH meter. Mengambil 10 mL sampel dan ukur turbidity dengan menggunakan turbidimeter.


BAB IV
PEMBAHASAN
4.1.Hasil Penelitian dan Pembahasan
Penelitian yang kami lakukan yaitu proses pengolahan limbah deterjen menggunakan suatu metode pengujian koagulasi flokulasi atau bisa juga disebut metode jartest. Pada metode koagulasi-flokulasi koagulan yang digunakan  ialah  koagulan kapur dan koagulan PAC dengan limbah yang diuji adalah limbah deterjen buatan dan limbah hasil dari air cucian warga. Dengan parameter yang dianalisis ialah COD dan BOD serta pH, suhu, dan turbidity. Dari hasil penelitian diperoleh data yang menunjukkan pengaruh massa koagulan terhadap nilai penurunan kadar COD pada limbah deterjen buatan, data ini dapat dilihat pada tabel 1 dan 2
tabel(1)
Gambar 1. Hubungan COD (mg/L) terhadap Massa Koagulan (gr) pada Sampel Limbah Deterjen Buatan

Gambar 1 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya massa koagulan baik pada koagulan kapur maupun koagulan PAC maka makin bertambah tinggi nilai penurunan CODnya karena semakin banyak partikel koloid yang menggumpal dan mengendapkan zat-zat organik sehingga COD terendapkan juga banyak. Dari gambar 4.1 menunjukan bahwa pada penambahan koagulan pada massa 5 gram mengalami nilai penurunan COD tertinggi yaitu pada koagulan kapur , walaupun terdapat nilai penurunan COD yang sama sehingga tidak selalu konstan  naik dibandingkan pada penambahan koagulan PAC dengan nilai penurunan COD yang terus meningkat.


 Gambar 2. Hubungan COD (mg/L) terhadap Massa koagulan (gr) pada Sampel Limbah Laundry
 Tabel(2)
Gambar 2 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya massa koagulan baik pada koagulan kapur maupun koagulan PAC maka makin bertambah tinggi nilai penurunan COD nya karena semakin banyak partikel koloid yang menggumpal dan mengendapkan zat-zat organik sehingga COD terendapkan juga banyak. Dari gambar 4.2 menunjukan bahwa penambahan koagulan  pada massa 5 gram mengalami nilai penurunan COD tertinggi yaitu pada koagulan kapur dengan nilai penurunan COD yang terus meningkat,sedangkan saat penambahan koagulan PAC pada massa 5 gram nilai penurunan COD pada massa penambahan koagulan 4 gram dan 5 gram memiliki nilai yang sama.
( Gambar 3)
Gambar 3. Hubungan BOD (mg/L) terhadap Massa Koagulan (gr) pada Sampel Limbah Deterjen Buatan

Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa dari variasi massa koagulan 1 gr, 2 gr, 3 gr, 4 gr, dan 5 gr,  koagulan kapurlah yang bisa menurunkan nilai BOD pada sampel limbah deterjen buatan ini, sedangkan koagulan PAC belum bisa menurunkan nilai BOD. Akan tetapi dari gambar 3 tersebut dapat kita lihat bahwa nilai penurunan BODnya menghasilkan grafik yang naik seiring dengan bertambahnya jumlah massa yang digunakan, walaupun pada massa 5 gr koagulan PAC belum bisa menurunkan nilai BOD.
(Gambar 4)
 Gambar 4. Hubungan BOD (mg/L) terhadap Massa Koagualan (gr) pada Sampel Limbah air cucian

Pada gambar 4 menunjukkan bahwa koagulan  kapur dan koagulan PAC dapat menurunkan nilai BOD pada sampel air cucian ini. Akan tetapi koagulan PAC hanya bisa menurunkan nilai BOD pada massa 4 dan 5 sedangkan koagulan kapur mengalami penurunan  nilai BOD seiring dengan bertambahnya massa koagulannnya. Dari kedua grafik tersebut menunjukkan penurunan nilai BOD seiring dengan bertambahnya massa koagulan, sehingga dapat diambil  kesimpulan bahwa kedua koagulan  tersebut yaitu kapur dan PAC sama-sama bisa menurunkan  BOD, akan tetapi dalam penggunaannya koagulan kapur lah yang paling efektif. Dari lima variasi massa yang digunakan tersebut massa 5 gr lah yang paling efektif digunakan untuk menurunkan nilai BOD. Tetapi terdapat nilai BOD yang lebih tinggi dibandingkan nilai BOD limbah deterjen sebelum dilakukan pengolahan koagulasi-flokulasi. Ini dikarenakan nilai dari tingkat pencemaran < 4000 yaitu BOD  untuk sampel limbah deterjen buatan sebesar 1,513 mg/L sedangkan BOD untuk sampel limbah deterjen sebesar 8,060 mg/L, apabila tingkat pencemaran tidak >4000 tidak begitu efektif menggunakan proses anaerob ini dapat dilihat dari nilai penurunan BOD dari limbah deterjen buatan.
Diantara koagulan kapur dan PAC koagulan  kapurlah (Ca(OH)2) yang paling efektif menurunkan nilai BOD maupun COD ini karena pada deterjen adanya fosfor yang sangat mempengaruhi nilai BOD dan COD yang terdapat pada air  limbah sehingga penggunaan koagulan kapurlah yang bagus karena pada penggunaan kapur, baik kalsium maupun hidroksida akan bereaksi dengan orthophosphorus hingga terbentuk endapan hydrocyaptite. Fosfor organik dan polyphosphate dipisahkan dengan reaksi yang lebih kompleks dengan adsorpsi dan akan membentuk flok,  sehingga untuk proses pengolahan koagulasi-flokulasi pada limbah deterjen penggunaan kapurlah yang paling baik. Sedangkan menurut Tjokokusumo ion kalsium tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap proses koagulasi tetapi dari hasil penelitian yang dilakukan penggunaan koagulan kapurlah yang efektif menurunkan nilai BOD dan COD dibandingkan koagulan PAC.
Menurut penelitian yang  pernah dilakukan oleh Budi (2006) pada limbah buangan yang mengandung terutama  limbah deterjen, dimana pada penggunaan koagulan kapurlah yang baik digunakan sebagai koagulan dengan  keefektifan penurunan sebesar 80,1% -98,5%. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Nuranto dkk (2008) penggunaan koagulan kapurlah yang paling efektif untuk penurunan BOD dan COD yaitu sebesar 75%-87% dibandingkan penggunaan koagulan PAC hanya sebesar 65% yang biasanya digunakan RSU Sleman Yogyakarta dimana penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemakaian deterjen tehadap kandungan fosfat di dalam air limbah terhadap pengaruh nilai BOD dan COD ( SMA 3 Madiun. 2008. Metode Pengolahan Deterjen).






BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1.      Deterjen adalah suatu bahan kimia organik sintesis yang dapat bereaksi dengan air dan menyebabkan pembentukan busa yang digunakan untuk membersihkan atau mencuci, baik dalam industri ataupun untuk tujuan rumah tangga (Carrefour, 2010).
2.      Pencemaran menyebabkan mahluk hidup melakukan berbagai reaksi, Seperti Kandungan fosfat yang tinggi dapat merangsang tumbuhnya gulma air (Bourdeau and Treshow, 1978). Peningkatan gulma air akan menyebabkan peningkatan penguraian fosfat, dan penghambatan pertukaran oksigen dalam air, sehingga kadar oksigen terlarut dalam air amat rendah (mikroaerofil) (H. Sitorus, 1997).
3.      Metode penelitian yang dipakai adalah metode koagulasi-flokulasi menggunakan koagulan kapur dan pac.
5.2. Saran
Gunakanlah detergen sebijaksana mungkin, jangan buang air limbah cucian ke perairan yang banyak biota airnya. Gunakanlah ilmu pengetahuan kita untuk menciptakan solusi masalah ini, misalnya detergen yang ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2008, Metode Pengolahan Deterjen. SMK  Negeri 3 Kimia. Madiun.

Pararaja, A. 2008. Pengaruh Surfaktan Las Pada Efisiensi Proses Koagulasi-Flokulasi dalam www.docstoc.com

Sigid Hariyadi. (2004).,BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan Baku Mutu Air Limbah.

Harmen Azmi, 2011. Efek Buruk Deterjen pada Biota Air, http://www.analisadaily.com/news/read/2011/10/30/19418/efek_buruk_detergenpada _biotaairATOHYeodmImU (Online 22 Pebruari 2012).

Kirk-Othmer, (1983), Surfactants and Detersive Systems, In Encyclopedia of Chemical Technology, 3rd edition, Volume 22. New York: John Wiley & Sons, Inc. pp 332-432.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar