MAKALAH
BAHASA
INDONESIA
“PENGARUH
LIMBAH AIR CUCIAN TERHADAP LINGKUNGAN”
Dosen
pengampu :
Indri Susanti, M.Si
Di
susun oleh :
Desi
Zulfa Eka Cahayati (181810002)
PROGAM
STUDI BAHASA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
LAMONGAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmad
dan hidayahnya kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah
dengan judul “Pengaruh air cucian
terhadap lingkungan” disusun
dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia serta memberikan
pengetahuan baru bagi penulis dan pembaca mengenai pencemaran lingkungan.
Kami
menyadari bahwa makalah ini kami susun masih jauh dari sempurna oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dengan tujuan
agar makalah ini selanjutnya akan lebih baik. Semoga bermanfaat.
Lamongan, 26 Desember 2018
Desi Zulfa Eka Cahayati
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
belakang
Air
merupakan kebutuhan primer bagi makhluk hidup. Peningkatan jumlah penduduk
mengakibatkan konsumsi air mengalami peningkatan. Sedangkan jumlah ketersediaan
air bersih semakin sedikit akibat adanya pencemaran lingkungan, misalkan
pembuangan sampah sembarangan, pembuangan limbah pabrik dan sebagainya. . Pencemaran air sebagai perubahan alami atau
buatan dalam kualitas air yang menjadikannya tidak sesuai atau berbahaya bagi
kehidupan makhluk hidup, industri, pertanian, perikanan atau tuntutan lain
(Dix, 1980).
Air
yang tercemar dapat dipergunakan kembali dengan proses filtrasi. Apabila air tercemar
maka akan memberi dampak negatif berupa rusaknya kandungan oksigen yang
terlarut, perubahan pH, temperatur air dan berkurangnya makanan dari dalam air
tersebut (Prawiro, 1985).
Salah
satu penyebab penyemaran adalah sabun atau detergen yang digunakan di kehidupan
sehari-hari untuk mencuci pakaian, mencuci piring, mandi dan kegiatan lainya.
Efek dari detergen sangat membahayakan kualitas air disekitar kita. Hal
tersebut disebabkan karena detergen mengandung zat surfaktan (sebagai bahan
dasar detergen) sebesar 20-30%, builders (senyawa fosfat) sebesar 70-80 %, dan
bahan aditif (pemutih dan pewangi) yang relative sedikit yaitu 2-8%. Surface
Active Agent (surfaktan) pada detergen digunakan untuk proses pembasahan dan
pengikat kotoran, sehingga sifat dari detergen dapat berbeda tergantung jenis
surfaktannya (Kirk dan Othmer, 1982).
1.2.Rumusan
masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka pada penulisan ini
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a.
Apa pengertian
dari detergen?
b.
Apa saja dampak
negatif dari pencemaran air?
c.
Bagaimana
metode yang di gunakan untuk mengatasi pencemaran air ?
1.3. Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
a.
Untuk
mengetahui pengertian detergen
b.
Untuk
mengetahui dampak negatif dari pencemaran air
c.
Untuk
mengetahui metode yang digunakan untuk mengatasi pencemaran air
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah
sabun dan detergen
Sabun sebenarnya tidak pernah ditemukan, tetapi pada
abad pertama, Pliny, sang pencetus menjelaskan proses pembuatan sabun, hingga
pada abad ke-13, sabun diproduksi secara industri. Sampai awal abad ke-18,
sabun diyakini campuran lemak dan basa secara mekanis; hingga Chevruel, ahli
kimia Perancis, menunjukkan bahwa pembuatan sabun sepenuhnya melibatkan reaksi
kimia (Austin, 1984). Sepanjang sejarah ada banyak sekali
usaha yang dilakukan untuk membantu pekerjaan kita sehari-hari. Seperti produk
laundry, sabun toilet, sampo, sabun cuci piring, dan produk pembersih pada
rumah tangga.
2.2. Pengertian
Detergen
Deterjen adalah suatu bahan kimia organik sintesis yang dapat bereaksi
dengan air dan menyebabkan pembentukan busa yang digunakan untuk membersihkan
atau mencuci, baik dalam industri ataupun untuk tujuan rumah tangga (Carrefour,
2010). Umumnya detergen tersusun atas tiga komponen yaitu, surfaktan (sebagai
bahan dasar detergen) sebesar 20-30%, builders (senyawa fosfat) sebesar 70-80
%, dan bahan aditif (pemutih dan pewangi) yang relative sedikit yaitu 2-8%.
Surface Active Agent (surfaktan) pada detergen digunakan untuk proses
pembasahan dan pengikat kotoran, sehingga sifat dari detergen dapat berbeda
tergantung jenis surfaktannya (Kirk dan Othmer, 1983).
Tujuan dari detergen yaitu memindahkan kotoran, minyak dan polutan-polutan
lain yang tidak diinginkan. Kandungan deterjen yang telah dibuat pada saat ini
memungkinkan untuk memperoleh hasil yang sama ataupun lebih baik dengan
temperatur pencucian yang lebih rendah dan energi yang sedikit dan juga
menghasilkan proses uraian biologis yang lebih efisien yang dapat melindungi lingkungan
dari pencemaran (Tresna, 2009).
2.3. Pengaruh
Deterjen Terhadap Kehidupan Biota Air
Pencemaran menyebabkan mahluk hidup melakukan berbagai reaksi, Seperti
Kandungan fosfat yang tinggi dapat merangsang tumbuhnya gulma air (Bourdeau and
Treshow, 1978). Peningkatan gulma air akan menyebabkan peningkatan penguraian
fosfat, dan penghambatan pertukaran oksigen dalam air, sehingga kadar oksigen
terlarut dalam air amat rendah (mikroaerofil) (H. Sitorus, 1997).
Semakin tinggi akumulasi detergen maka semakin rendah pula suplai oksigen
terlarut di dalam air. Hal ini menyebabkan terganggunya proses respirasi pada
ikan. Sehingga dampak yang paling buruk adalah kematian pada ikan. Kematian
yang terjadi dikarenakan berhentinya fungsi kerja organorgan tubuh pada ikan
akibat tidak terpenuhi oksigen pada proses respirasi. Atau kandungan detergen
yang toksik tidak bisa ditolerir oleh tubuh ikan. Insang sebagai organ yang
penting memiliki sifat sensitive yang tinggi terhadap racun di perairan.
Kerusakan organ respirasi ini disebabkan karena terjadinya iritasi pada
permukaan insang sehingga mengganggu proses respirasi. Selain merusak insang,
deterjen juga merusak indra perasa ikan sehingga ikan akan kesulitan dalam
mencari makan.
Beberapa negara di dunia secara resmi telah melarang penggunaan zat Alkyl
Benzene Sulfonate (ABS) dalam pembuatan deterjen dan memperkenalkan senyawa
kimia baru yang disebut Linier Alkyl Sulfonat (LAS) yang relatif lebih ramah
lingkungan. Akan tetapi penelitian terbaru oleh para ahli menyebutkan bahwa
senyawa ini juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit terhadap lingkungan.
Menurut data yang diperoleh bahwa dikatakan alam lingkungan membutuhkan waktu
selama 90 hari untuk mengurai LAS dan hanya 50 persen dari keseluruhan yang
dapat diurai (Daniel N, 2001)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium dan dilaksanakan di
Laboratorium Biologi Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat dan
Laboratorium PDAM Banjarbaru. Limbah deterjen dibuat di laboratorium PDAM
Banjarbaru. Koagulan yang digunakan adalah kapur dan PAC
3.2. Alat dan Bahan
1.
Alat
Pada penelitian
ini memerlukan seperangkat alat koagulasi yang mana menggunakan beakker glass
yang dilengkapi dengan pengaduk (Jar Test). Botol semprot, termometer (Philip
Haris Limited),gelas ukur 10 mL, botol kaca, kertas label,pH meter (Cyberscan
1000), stopwatch, neraca analitik (Ohaus), pipet volume 10 mL, incubator,
erlenmeyer, corong, propipet, buret, gelas arloji, tangki plastik (dirijen),
botol winkler dan turbidimeter (2100P HACH).
2.
Bahan
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu limbah deterjen buatan,
limbah deterjen laundry, kapur, PAC,reagen alkali iodida azida, kertas saring,
MnSO4,KmnO40,06 N, amilum 5%, natrium thiosulfat 0,025 N, asam oksalat 0,01 N,
asam sulfat pekat dan aquadest.
3.3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai adalah metode koagulasi-flokulasi
menggunakan koagulan kapur dan pac.
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1.
Identifikasi Limbah Deterjen
Sampel air limbah deterjen buatandan limbah deterjen laundry, selanjutnya
diperiksa di laboratorium untuk mengetahui karakteristiknya. Parameter yang
diperiksa adalah meliputi parameter air bersih terbatas: BOD BOD diukur
dengan metode Titrasi Winkler menurut
SNI 06-2503-1991. COD COD diukur dengan menggunakan metode titrasi menurut
SNI 06-2504-1991. pH Untuk pengukuran pH, digunakan pH meter menurut SNI
06-6989.11-2004. Turbidity Untuk mengukur kekeruhan, digunakan turbidimeter
menurut SNI 06-6989.25-2005.
3.4.2.
Persiapan Media
Limbah deterjen dibuat dengan cara mencampurkan 20 L air dengan 100gr
deterjen, kemudian mengaduknya sampai homogen dan untuk limbah deterjen laundry
diambil dari tempat laundry.
3.4.3.
Proses Pengolahan Limbah Deterjen
1.
Variasi Massa Koagulasi-Flokulasi
Dari larutan tersebut diambil 150 mL dan dimasukkan kedalam beakker glass
dan menambahkan kapur sebagai koagulan dengan variasi massa koagulan adalah 1
gr, 2 gr, 3 gr, 4 gr dan 5 gr dengan menggunakan proses Jar-Test untuk
masing-masing sampel. Untuk menghomogenkan larutan untuk proses koagulasi
dilakukan pengadukan 100 rpm selama 1
menit. Pada proses flokulasi ini dilakukan pengadukan lambat dengan kecepatan
40 rpm selama 20 menit atau sampai terjadi panggabungan inti endapan menjadi molekul
yang lebih besar (flok). Flok yang terbentuk selanjutnya dipisahkan dengan
cairannya yaitu dengan cara pengendapan atau pengapungan selama 30 menit.
Setelah itu dilakukan pengukuran terhadap BOD, COD, pH dan turbiditynya.
2.
Penentuan BOD
Sampel dari hasil proses pengolahan dimasukkan kedalam 2 buah botol winkler
dalam jumlah masing-masing 75 mL, kemudian menambahkan aquadest pada
masing-masing botol sebanyak 225 mL. Salah satu dari botol tersebut diinkubasi
selama 5 hari, kemudian diukur oksigen terlarutnya. Botol winkler yang tersisa
diukur oksigen terlarutnya pada hari ke 0 dengan menambahkan 2 mL MnSO4 dan 2
mL reagen alkali iodida azida. Menutup dan mengocok larutan tersebut kemudian
membiarkannya selama 10 menit. Menambahkan 2 mL H2SO4 pekat kemudian
mengocoknya. Memindahkan kedalam erlenmeyer 500 mL, setelah itu ditambah 3
tetes amilum 5% dan dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat 0,025N hingga
larutan tak berwarna dan mencatat volume titrasinya.
3.
Penentuan COD
Mengambil sampel dari hasil proses pengolahan koagulasi-flokluasi pada
tiap-tiap variasi massa, memasukan kedalam botol dengan jumlah minimum 10 mL.
Menambahkan 5 mL H2SO4 4 N campur hingga tercampur sempurna. Menambahkan
titrasi hasil standarisasi larutan KMnO4 0,06 N. Memasukkan dalam penangas air
hingga mendidih kemudian mengangkat. Menambahkan 10 mL asam oksalat 0,01 N
pertahankan suhunya ± 70º-80ºC. Menitrasi dengan KMnO4 0,06 N hingga warna
pink, titrasi dihentikan. Mencatat jumlah KMnO4 0,06 N yang diperlukan hingga
tebentuk warna pink.
4.
Penentuan pH
dan Turbidity
Mengambil 10 mL sampel dan memasukkannya kedalam beakker glass. Mengukur pH
pada sampel tersebut dengan mengunakan pH meter. Mengambil 10 mL sampel dan
ukur turbidity dengan menggunakan turbidimeter.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1.Hasil Penelitian dan Pembahasan
Penelitian yang kami lakukan yaitu proses pengolahan limbah deterjen
menggunakan suatu metode pengujian koagulasi flokulasi atau bisa juga disebut
metode jartest. Pada metode koagulasi-flokulasi koagulan yang digunakan ialah
koagulan kapur dan koagulan PAC dengan limbah yang diuji adalah limbah
deterjen buatan dan limbah hasil dari air cucian warga. Dengan parameter yang
dianalisis ialah COD dan BOD serta pH, suhu, dan turbidity. Dari hasil
penelitian diperoleh data yang menunjukkan pengaruh massa koagulan terhadap
nilai penurunan kadar COD pada limbah deterjen buatan, data ini dapat dilihat
pada tabel 1 dan 2
tabel(1)
Gambar 1.
Hubungan COD (mg/L) terhadap Massa Koagulan (gr) pada Sampel Limbah Deterjen
Buatan
Gambar 1
menunjukkan bahwa dengan bertambahnya massa koagulan baik pada koagulan kapur
maupun koagulan PAC maka makin bertambah tinggi nilai penurunan CODnya karena
semakin banyak partikel koloid yang menggumpal dan mengendapkan zat-zat organik
sehingga COD terendapkan juga banyak. Dari gambar 4.1 menunjukan bahwa pada
penambahan koagulan pada massa 5 gram mengalami nilai penurunan COD tertinggi
yaitu pada koagulan kapur , walaupun terdapat nilai penurunan COD yang sama
sehingga tidak selalu konstan naik
dibandingkan pada penambahan koagulan PAC dengan nilai penurunan COD yang terus
meningkat.
Gambar 2. Hubungan COD (mg/L) terhadap Massa
koagulan (gr) pada Sampel Limbah Laundry
Tabel(2)
Gambar 2
menunjukkan bahwa dengan bertambahnya massa koagulan baik pada koagulan kapur
maupun koagulan PAC maka makin bertambah tinggi nilai penurunan COD nya karena
semakin banyak partikel koloid yang menggumpal dan mengendapkan zat-zat organik
sehingga COD terendapkan juga banyak. Dari gambar 4.2 menunjukan bahwa
penambahan koagulan pada massa 5 gram
mengalami nilai penurunan COD tertinggi yaitu pada koagulan kapur dengan nilai penurunan
COD yang terus meningkat,sedangkan saat penambahan koagulan PAC pada massa 5
gram nilai penurunan COD pada massa penambahan koagulan 4 gram dan 5 gram
memiliki nilai yang sama.
( Gambar 3)
Gambar 3.
Hubungan BOD (mg/L) terhadap Massa Koagulan (gr) pada Sampel Limbah Deterjen
Buatan
Pada gambar 3
dapat dilihat bahwa dari variasi massa koagulan 1 gr, 2 gr, 3 gr, 4 gr, dan 5
gr, koagulan kapurlah yang bisa
menurunkan nilai BOD pada sampel limbah deterjen buatan ini, sedangkan koagulan
PAC belum bisa menurunkan nilai BOD. Akan tetapi dari gambar 3 tersebut dapat
kita lihat bahwa nilai penurunan BODnya menghasilkan grafik yang naik seiring
dengan bertambahnya jumlah massa yang digunakan, walaupun pada massa 5 gr
koagulan PAC belum bisa menurunkan nilai BOD.
(Gambar 4)
Gambar 4. Hubungan BOD (mg/L) terhadap Massa
Koagualan (gr) pada Sampel Limbah air cucian
Pada gambar 4 menunjukkan bahwa koagulan
kapur dan koagulan PAC dapat menurunkan nilai BOD pada sampel air cucian
ini. Akan tetapi koagulan PAC hanya bisa menurunkan nilai BOD pada massa 4 dan
5 sedangkan koagulan kapur mengalami penurunan
nilai BOD seiring dengan bertambahnya massa koagulannnya. Dari kedua
grafik tersebut menunjukkan penurunan nilai BOD seiring dengan bertambahnya
massa koagulan, sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa kedua koagulan
tersebut yaitu kapur dan PAC sama-sama bisa menurunkan BOD, akan tetapi dalam penggunaannya koagulan
kapur lah yang paling efektif. Dari lima variasi massa yang digunakan tersebut
massa 5 gr lah yang paling efektif digunakan untuk menurunkan nilai BOD. Tetapi
terdapat nilai BOD yang lebih tinggi dibandingkan nilai BOD limbah deterjen
sebelum dilakukan pengolahan koagulasi-flokulasi. Ini dikarenakan nilai dari
tingkat pencemaran < 4000 yaitu BOD
untuk sampel limbah deterjen buatan sebesar 1,513 mg/L sedangkan BOD
untuk sampel limbah deterjen sebesar 8,060 mg/L, apabila tingkat pencemaran
tidak >4000 tidak begitu efektif menggunakan proses anaerob ini dapat
dilihat dari nilai penurunan BOD dari limbah deterjen buatan.
Diantara koagulan kapur dan PAC koagulan
kapurlah (Ca(OH)2) yang paling efektif menurunkan nilai BOD maupun COD
ini karena pada deterjen adanya fosfor yang sangat mempengaruhi nilai BOD dan
COD yang terdapat pada air limbah
sehingga penggunaan koagulan kapurlah yang bagus karena pada penggunaan kapur,
baik kalsium maupun hidroksida akan bereaksi dengan orthophosphorus hingga
terbentuk endapan hydrocyaptite. Fosfor organik dan polyphosphate dipisahkan
dengan reaksi yang lebih kompleks dengan adsorpsi dan akan membentuk flok, sehingga untuk proses pengolahan
koagulasi-flokulasi pada limbah deterjen penggunaan kapurlah yang paling baik.
Sedangkan menurut Tjokokusumo ion kalsium tidak memberikan pengaruh yang
berarti terhadap proses koagulasi tetapi dari hasil penelitian yang dilakukan
penggunaan koagulan kapurlah yang efektif menurunkan nilai BOD dan COD
dibandingkan koagulan PAC.
Menurut penelitian yang pernah
dilakukan oleh Budi (2006) pada limbah buangan yang mengandung terutama limbah deterjen, dimana pada penggunaan koagulan
kapurlah yang baik digunakan sebagai koagulan dengan keefektifan penurunan sebesar 80,1% -98,5%.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Nuranto dkk (2008) penggunaan
koagulan kapurlah yang paling efektif untuk penurunan BOD dan COD yaitu sebesar
75%-87% dibandingkan penggunaan koagulan PAC hanya sebesar 65% yang biasanya
digunakan RSU Sleman Yogyakarta dimana penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh pemakaian deterjen tehadap kandungan fosfat di dalam air
limbah terhadap pengaruh nilai BOD dan COD ( SMA 3 Madiun. 2008. Metode Pengolahan Deterjen).
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1.
Deterjen adalah
suatu bahan kimia organik sintesis yang dapat bereaksi dengan air dan
menyebabkan pembentukan busa yang digunakan untuk membersihkan atau mencuci,
baik dalam industri ataupun untuk tujuan rumah tangga (Carrefour, 2010).
2.
Pencemaran
menyebabkan mahluk hidup melakukan berbagai reaksi, Seperti Kandungan fosfat
yang tinggi dapat merangsang tumbuhnya gulma air (Bourdeau and Treshow, 1978).
Peningkatan gulma air akan menyebabkan peningkatan penguraian fosfat, dan
penghambatan pertukaran oksigen dalam air, sehingga kadar oksigen terlarut
dalam air amat rendah (mikroaerofil) (H. Sitorus, 1997).
3.
Metode
penelitian yang dipakai adalah metode koagulasi-flokulasi menggunakan koagulan
kapur dan pac.
5.2. Saran
Gunakanlah detergen sebijaksana
mungkin, jangan buang air limbah cucian ke perairan yang banyak biota airnya.
Gunakanlah ilmu pengetahuan kita untuk menciptakan solusi masalah ini, misalnya
detergen yang ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, 2008, Metode Pengolahan Deterjen. SMK Negeri 3 Kimia. Madiun.
Pararaja, A. 2008. Pengaruh Surfaktan Las Pada Efisiensi Proses
Koagulasi-Flokulasi dalam www.docstoc.com
Sigid Hariyadi. (2004).,BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan
Baku Mutu Air Limbah.
Harmen Azmi, 2011. Efek Buruk Deterjen pada Biota Air,
http://www.analisadaily.com/news/read/2011/10/30/19418/efek_buruk_detergenpada
_biotaairATOHYeodmImU (Online 22 Pebruari 2012).
Kirk-Othmer, (1983), Surfactants and Detersive Systems, In Encyclopedia of
Chemical Technology, 3rd edition, Volume 22. New York: John Wiley & Sons,
Inc. pp 332-432.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar